Saturday, July 25, 2015

Mengenal Sejarah Batik Solo

Mengenal Sejarah Batik Solo, sudah barang tentu tidak bisa terlepas dari kota Solo. Solo merupakan sebuah kota yang berada di wilayah provinsi Jawa Tengah dan masih termasuk kedalam Karesidenan Surakarta. Karena letaknya di provinsi Jawa Tengah, kota Solo termasuk kota yang sangat lekat dengan budaya Jawa. Karena lekatnya dengan budaya Jawa, Solo memiliki slogan The Spirit Of Java sebagai tekad untuk melestarikan budaya Jawa.

Sekitar 4 abad yang lalu, ada sebuah kerajaan yang disebut Kerajaan Pajang. Dari kerajaan inilah berawal lahirnya Batik Solo. Oleh karena itu, batik Solo tidak akan terlepas dari pengaruh keraton. Perlu diketahui bahwa Kerajaan Pajang merupakan kelanjutan dari kerajaan Demak yang memindahkan pemerintahannya ke Pajang.

Peran Kerajaan Pajang
Menurut beberapa sumber, tokoh yang pertama kali memperkenalkan batik di desa Laweyan yang saat itu masuk ke wilayah kerajaan Pajang adalah Kyai Ageng Henis. Kyai Ageng Henis dahulu bermukim di Desa Laweyan sekitar tahun 1546 M. Beliau adalah putra dari Ki Ageng Selo yang juga keturunan Brawijaya V. Ki Ageng Henis juga merupakan kakek dari Danang Sutawijaya yang menjadi pendiri kerajaan Mataram. Beliaupun dikenal dengan sebutan Ki Ageng Laweyan.

Dahulu Desa Laweyan yang terletak di tepi Sungai Laweyan, merupakan pusat dari perdagangan Lawe atau bahan baku tenun. Bahan baku kapas sebagai bahan untuk tenun, dipasok dari daerah Juwiring, Pedan dan Gawok. Proses distribusi bahan baku ini di Pasar Lawe dilakukan melalui bandar Kabanaran yang lokasinya tak jauh dari Pasar Lawe. Dulu terdapat banyak Bandar di tepi sungai, seperti Bandar Kabanaran, dan Bandar Laweyan. Melalui Bandar inilah yang menghubungkan Desa Laweyan menuju Sungai Bengawan Solo. Dari sinilah, batik terhubung dengan daerah pesisir.

Batik Solo di Era Keraton Surakarta
Batik Surakarta sangat diwarnai oleh Keraton Surakarta yang berdiri pada tahun 1745. Hal ini diawali dengan perpecahan Keraton Surakarta dan Ngayogyakarta sebagai akibat dari adanya perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Seluruh busana kebesaran Mataram dibawa ke Keraton Yogyakarta. Sementara itu, Pakubuwana III memerintahkan kepada para abdi dalem untuk membuat sendiri motif batik Gagrak Surakarta.

Karena adanya perintah dari Pakubuwana III ini, kemudian masyarakat berlomba-lomba untuk membuat corak batik. Yang kemudian berkembang banyak sekali jenis motif batik di masyarakat. Kemudian, Pakubuwana III mengeluarkan peraturan tentang motif batik dan  kain batik yang boleh dipakai di dalam Keraton.

Diantara kain batik yang dilarang digunakan di dalam keraton adalah batik sawat, batik parang dan batik cemukiran yang berujung seperti paruh burung podang, bagun tulak, minyak teleng serta berujud tumpal dan juga batik cemukiran yang berujung lung (daun tumbuhan yang menjalar di tanah), batik jenis ini hanya boleh dipakai oleh patih dan para kerabat keraton. Sedangkan rakyat biasa tidak diperkenankan.

Semua batik untuk kepentingan Keraton, dirancang oleh para abdi dalem. Sebagian besar dari mereka tinggal di luar keraton, sehingga terbentuklah komunitas para perajin batik seperti di Kratonan, Kusumodiningratan, Kauman Maupun Pasar Kliwon. Bahan yang biasa digunakan untuk membuat kain batik serta pewarnaan pada kain batik masih menggunakan bahan lokal. Karena pembuatan Batik Solo saat ini, belum secanggih seperti sekarang ini.

Batik Solo Diawal Abad Ke 20
Di awal abad ke 20, batik menjadi identitas perekonomian masyarakat Jawa. Pada masa ini, batik telah memasuki era industrialisasi dan terbentuknya kelompok-kelompok para pedagang. Salah satu organisasi yang terkenal adalah Sarekat Dagang Islam yang dipelopori oleh KH Samanhudi. Beliau memiliki jaringan dagang yang kuat hingga ke Kudus, Surabaya, Gresik, Tuban, Cirebon, Bogor hingga ke Batavia dan luar Jawa. Salah satu distributornya adalah HOS Cokroaminoto yang menjadi tokoh dalam organisasi Sarekat Dagang Islam.

Berdirinya SDI dilatarbelakangi persaingan dagang antara orang-orang Cina dan Belanda. Organisasi ini menunjukkan eksistensi masyarakat pribumi Jawa Islam di tengah kekuasaan kolonial Belanda. Sekaligus mempertahankan eksistensi batik yang menjadi salah satu pilar ekonomi masyarakat Jawa. Pada akhirnya SDI menjadi salah satu organisasi perintis kemerdekaan Indonesia.

Jenis Kain Batik Solo dan Ciri Khasnya
Di Solo sendiri terdapat 2 jenis kain batik yang biasa digunakan, yaitu kain batik dan kain lurik. Batik yang berasal dari kota Solo maupun Jogjakarta oleh para pencinta batik disebut dengan Batik Kasultanan dengan ciri khas warna yang digunakan adalah warna biru, coklat dan putih.

Masing-masing warna pada kain batik solo memiliki arti filosofi tersendiri. Warna biru melambangkan bumi, warna coklat melambangkan api sedangkan warna putih melambangkan angin dan air.

Ciri khas lain pada batik Solo adalah warnanya. Batik Solo sering menggunakan warna sogan yaitu warna kombinasi seperti kombinasi warna coklat muda, coklat tua, coklat kekuningan, coklat kehitaman, dan coklat kemerahan. Selain ciri khas pada warna, batik solo juga terkenal dengan motif batik tradisionalnya baik pada batik cap mupun batik tulis. Motif batik yang terkenal pada batik solo adalah motif sidomukti dan sidoluruh.

Karena ciri khas inilah batik Solo telah terkenal sampai ke mancanegara dan memiliki nilai jual yang tinggi, bahkan menjadi salah satu sektor expor andalan dari para pengrajin batik Solo. Para pengrajin Batik Solo pernah mencapai kejayaannya pada tahun 1970an. Dan sampai sekarang,  Batik Solo tetap ada dan masih memiliki ciri khas yang sama dan memiliki daya jual yang tinggi.

Demikian artikel tentang sejarah batik solo, semoga dengan membaca artikel ini kita dapat memahami bagaimana rumitnya dan uniknya batik Solo. Sehingga diharapkan dapat menjaga dan melestarikan salah satu budaya bangsa ini.

No comments:

Post a Comment